Pantai Angkeu simeulue sebelum tsunami. Foto : Hajjatun Ch
“aifak o mata’ot anak mombo oi, smong rumek-rumekmo, linon oak-oakmo” (pantun Simeulue) yang artinya “tak usah takut anak cucuku, tsunami itu mandi-mandimu dan gempa itu ayun-ayunanmu”
Simeulue adalah pulau seluas 198.021 hektar yang terletak di Samudra Hindia, dengan jumlah total penduduk 78.000 jiwa. Saat gempa dan tsunami Desember 2004 terjadi, dilaporkan “hanya tujuh orang” yang meninggal dunia di pulau ini, sementara di Aceh daratan ratusan ribu orang tewas dihantam gelombang air laut.
Jumlah korban yang relatif amat kecil itu disebabkan karena persiapan menghadapi bencana, yang telah dipelajari penduduk sejak kecil. Para tetua di Simeulue mewariskan petuah agar waspada dengan kegentingan lingkungan. Di tengah masyarakat pulau ini, petuah itu abadi diwariskan dari generasi ke generasi. Ada pantun rakyat yang selalu diingat, “Tak usah takut anak cucuku, tsunami itu mandi-mandimu dan gempa itu ayun-ayunanmu,"
Hampir semua warga, mulai dari anak SD apalagi tetua di pulau itu tahu persis bahwa jika terjadi gempa, maka mereka menunggu lebih dulu untuk melihat air surut dan setelah itu memutuskan lari ke gunung untuk menghindar dari smong (smong dalam bahasa Simeulue berarti tsunami).
satu hal yang saya sesali, mengapa kata smong tidak diangkat menjadi Bahasa Indonesia (kita lupakan saja untuk sementara waktu)
Jumlah korban yang relatif amat kecil itu disebabkan karena persiapan menghadapi bencana, yang telah dipelajari penduduk sejak kecil. Para tetua di Simeulue mewariskan petuah agar waspada dengan kegentingan lingkungan. Di tengah masyarakat pulau ini, petuah itu abadi diwariskan dari generasi ke generasi. Ada pantun rakyat yang selalu diingat, “Tak usah takut anak cucuku, tsunami itu mandi-mandimu dan gempa itu ayun-ayunanmu,"
Hampir semua warga, mulai dari anak SD apalagi tetua di pulau itu tahu persis bahwa jika terjadi gempa, maka mereka menunggu lebih dulu untuk melihat air surut dan setelah itu memutuskan lari ke gunung untuk menghindar dari smong (smong dalam bahasa Simeulue berarti tsunami).
satu hal yang saya sesali, mengapa kata smong tidak diangkat menjadi Bahasa Indonesia (kita lupakan saja untuk sementara waktu)
Menurut Charles, staf Dinas Perikanan dan Kelautan Simeulue, selain belajar dari pengalaman sebelumnya atau kearifan yang diwariskan dari beberapa generasi terdahulu, bentuk topografi Pulau Simeulue juga memungkinan penduduk untuk menyelamatkan diri dari tsunami. Simeuleu mempunyai gunung yang tidak terlalu tinggi, lebih tepat disebut bukit.
Seperti yang diamati reporter Kamarudin Azis di sepanjang perjalanan dari ibukota kabupaten Sinabang ke arah Teluk dalam dan Sibigo, di sisi kiri jalan dapat dijumpai bukit-bukit yang mudah diakses. Hampir semua warga Simeulue berdiam di wilayah pesisir yang tersebar dari ibukota Sinabang sampai desa-desa pesisir di kecamatan Simeulue Timur, Teupah, Teluk Dalam sampai kecamatan Siemulue Barat.
Ini bisa menjadi contoh betapa, kita mesti belajar pada alam, jangan karena gempa kemudian air menjadi surut lalu melihat ikan banyak yang terdampar kemudian, kita justru berlari ke arah panati segera mengambil ikan-ikan itu. Warga Simeuleu bisa membaca tanda-tanda alam, bahwa di balik laut yang surut itu, ada air bah yang mengancam. Kearifan masyarakat Simeulue inilah yang sepatutnya disebarkan ke wilayah-wilayah Indonesia lain yang rawan gempa dan tsunami.
Penduduk memang selalu ingat pesan pantun “Nga linon fesang smong,” yang dalam bahasa Simeulue, artinya setelah gempa akan datang tsunami. Jadi inti pesan smong, setelah terjadi gempa besar segeralah berlari ke gunung atau bukit karena akan ada gelombang tsunami.
Bagi warga pulau ini, kata tsunami adalah sesuatu yang asing. Mereka tidak tahu istilah itu, namun mereka akrab dengan kata smong. Smong menjadi kata mukjizat bagi masyarakat di Pulau Simeulue yang berada di lepas pantai Samudera Hindia. Salah satu hikmah dari gempa dan tsunami 2004, adalah tersebarnya pengetahuan local (indigenous knowledge) dari Pulau Simeulue, yang terbukti efektif menekan jumlah korban jiwa saat terjadi bencana.
Alam Kaya, Miskin Teknologi
Selama ini, daya tarik dan potensi kepulauan Simeulue mungkin kalah dengan Pulau Weh atau Sabang. Bahkan banyak orang yang tidak tahu di mana gerangan pulau ini berada.
Pulau Simeuleu dapat dicapai dengan kapal feri dari Labuhan Haji dan Singkil, Aceh atau dengan pesawat berbadan kecil, seperti Susi Air, SMAC maupun Riau Airlines. Salah satu potensinya adalah kekayaan hutan yang mendominasi luas lahan darat Kepulauan Simeulue. Kabupaten ini memiliki 100.000 hektar lebih hutan atau 50 persen dari total luas wilayah. Potensi kayu hutan sangat menjanjikan. Selain itu juga ada potensi peternakan sapi. Hutan Simeulue juga menghasilkan beberapa jenis rotan, seperti manau, saga, cengkeh, dan belakangan mulai ditanami kakao dan lain-lain.
Namun, yang mengherankan, di sebuah wilayah yang benar-benar dikelilingi lautan seperti Kepulauan Simeulue ini, perikanan belum menjadi andalan utama ekonomi. Kontribusi perikanan dalam kegiatan ekonomi tidak sampai tiga persen (Sumber Litbang, Kompas). Belum berkembangnya lapangan usaha yang sangat potensial di kepulauan ini disebabkan rendahnya teknologi kelautan yang dimiliki penduduk. Untuk melaut, nelayan Simeulue masih sangat bergantung pada musim. Perahu yang mereka miliki juga didominasi perahu tanpa motor ukuran sedang. Tidak mungkin menghasilkan tangkapan besar jika kendala ini masih dimiliki.
Selama ini berbagai upaya telah dirintis oleh pemerintah dengan mengundang investor, salah satunya adalah beroperasinya penerbangan berukuran kecil, seperti SMAC, Riau Airlines dan Susi Air. Beberapa penerbangan tersebut malah menggunakan jasa pesawat untuk mengangkut hasil laut seperti lobster dan ikan kerapu (sunu).
Dari hasil obrolan reporter Kamarudin Azis dengan petugas Bandara Lasikin, Susi Air yang dimiliki oleh Asi Pujiastuti, pengusaha asal Padalarang, dapat mengangkut lobster sampai 300 kilogram dalam setiap sekali penerbangan dari Siemulue ke Medan, untuk kemudian dipasarkan di restaurant mahal dengan harga berlipat-lipat. Harga pembelian sekitar Rp100.000 per kilogram lobster di Simeulue, dijual dengan harga pasaran di Medan, Rp250.000 - Rp. 300.000 per kilogram. Harga ini tentu akan melambung jika diekspor.
Seperti yang diamati reporter Kamarudin Azis di sepanjang perjalanan dari ibukota kabupaten Sinabang ke arah Teluk dalam dan Sibigo, di sisi kiri jalan dapat dijumpai bukit-bukit yang mudah diakses. Hampir semua warga Simeulue berdiam di wilayah pesisir yang tersebar dari ibukota Sinabang sampai desa-desa pesisir di kecamatan Simeulue Timur, Teupah, Teluk Dalam sampai kecamatan Siemulue Barat.
Ini bisa menjadi contoh betapa, kita mesti belajar pada alam, jangan karena gempa kemudian air menjadi surut lalu melihat ikan banyak yang terdampar kemudian, kita justru berlari ke arah panati segera mengambil ikan-ikan itu. Warga Simeuleu bisa membaca tanda-tanda alam, bahwa di balik laut yang surut itu, ada air bah yang mengancam. Kearifan masyarakat Simeulue inilah yang sepatutnya disebarkan ke wilayah-wilayah Indonesia lain yang rawan gempa dan tsunami.
Penduduk memang selalu ingat pesan pantun “Nga linon fesang smong,” yang dalam bahasa Simeulue, artinya setelah gempa akan datang tsunami. Jadi inti pesan smong, setelah terjadi gempa besar segeralah berlari ke gunung atau bukit karena akan ada gelombang tsunami.
Bagi warga pulau ini, kata tsunami adalah sesuatu yang asing. Mereka tidak tahu istilah itu, namun mereka akrab dengan kata smong. Smong menjadi kata mukjizat bagi masyarakat di Pulau Simeulue yang berada di lepas pantai Samudera Hindia. Salah satu hikmah dari gempa dan tsunami 2004, adalah tersebarnya pengetahuan local (indigenous knowledge) dari Pulau Simeulue, yang terbukti efektif menekan jumlah korban jiwa saat terjadi bencana.
Alam Kaya, Miskin Teknologi
Selama ini, daya tarik dan potensi kepulauan Simeulue mungkin kalah dengan Pulau Weh atau Sabang. Bahkan banyak orang yang tidak tahu di mana gerangan pulau ini berada.
Pulau Simeuleu dapat dicapai dengan kapal feri dari Labuhan Haji dan Singkil, Aceh atau dengan pesawat berbadan kecil, seperti Susi Air, SMAC maupun Riau Airlines. Salah satu potensinya adalah kekayaan hutan yang mendominasi luas lahan darat Kepulauan Simeulue. Kabupaten ini memiliki 100.000 hektar lebih hutan atau 50 persen dari total luas wilayah. Potensi kayu hutan sangat menjanjikan. Selain itu juga ada potensi peternakan sapi. Hutan Simeulue juga menghasilkan beberapa jenis rotan, seperti manau, saga, cengkeh, dan belakangan mulai ditanami kakao dan lain-lain.
Namun, yang mengherankan, di sebuah wilayah yang benar-benar dikelilingi lautan seperti Kepulauan Simeulue ini, perikanan belum menjadi andalan utama ekonomi. Kontribusi perikanan dalam kegiatan ekonomi tidak sampai tiga persen (Sumber Litbang, Kompas). Belum berkembangnya lapangan usaha yang sangat potensial di kepulauan ini disebabkan rendahnya teknologi kelautan yang dimiliki penduduk. Untuk melaut, nelayan Simeulue masih sangat bergantung pada musim. Perahu yang mereka miliki juga didominasi perahu tanpa motor ukuran sedang. Tidak mungkin menghasilkan tangkapan besar jika kendala ini masih dimiliki.
Selama ini berbagai upaya telah dirintis oleh pemerintah dengan mengundang investor, salah satunya adalah beroperasinya penerbangan berukuran kecil, seperti SMAC, Riau Airlines dan Susi Air. Beberapa penerbangan tersebut malah menggunakan jasa pesawat untuk mengangkut hasil laut seperti lobster dan ikan kerapu (sunu).
Dari hasil obrolan reporter Kamarudin Azis dengan petugas Bandara Lasikin, Susi Air yang dimiliki oleh Asi Pujiastuti, pengusaha asal Padalarang, dapat mengangkut lobster sampai 300 kilogram dalam setiap sekali penerbangan dari Siemulue ke Medan, untuk kemudian dipasarkan di restaurant mahal dengan harga berlipat-lipat. Harga pembelian sekitar Rp100.000 per kilogram lobster di Simeulue, dijual dengan harga pasaran di Medan, Rp250.000 - Rp. 300.000 per kilogram. Harga ini tentu akan melambung jika diekspor.
Sumber : Reporter Kamaruddin Azis
3 komentar:
Setuju...
Tp yang jelas, masa depan Simeulue Ate Fulawan ada di tangan kita semua.
Iseng buka fb, eh ternyata ada yang baru published blog nya hihi. What a beauty ya Atun, pantai Simeulue.
Kearifan lokal "Smong" sudah diakui oleh PBB dengan memberikan penghargaan SASAKAWA AWARD dengan klasifikasi Certificated of Merit kepada masyarakat Kabupaten Simeulue. ISDR adalah lembaga dibawah Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations) yang memberikan perhatian pada upaya-upaya masyarakat mengurangi kerusakan dan kerugian akibat bencana ^^
hehe. kakak... baru baca komentnya (^_^)
makasih ya kak...
dahsyat dah !
Posting Komentar
Leave your comment here ! (^_^)